Kamis, 07 Juli 2011

Rueng Randang dalam Kisah


  Rueng Randang dikisahkan sebagai seorang gadis desa yang cantik, molek, dan rupawan. Kecantikannya menarik perhatian para pemuda kampung dan sekitarnya. Rueng Randang hidup dalam sebuah keluarga yang serba kekurangan. Rueng Randang hanya sebatang kara karena dia hanya anak perempuan satu-satunya tanpa adik dan kakak. Dia hidup dalam asuhan orangtua miskin. Kehidupan keluarganya yang sangat prihatin itu, pergi pagi untuk mendapatkan makan siang, dan pergi siang untuk mendapatkan makan malam. Jagung dan singkong menjadi makanan utama mereka.
   Dalam kondisi serba kekurangan itu, Rueng hidup tanpa pernah mengenal kurang. Dia selalu senyum dan tertawa bersama ibunya yang tidak pernah duduk di bangku sekolah. Semenjak kecil, mereka selalu bersama dengan teman kampungnya bermain dihalaman kampung, pergi timba air dan mandi bersama serta tak lupa tugas pokoknya, yaitu masak didapur. Mereka hidup dibawah sebuah gubuk yang reot beratapkan alang-alang, berdindingkan bambu. Mereka meletakkan tubuh mereka diatas tikar (loce) hasil anyaman ibunya. Dengan penerangan sebuah pelita yang terbuat dari botol tinta hero, mereka sangat bahagia. Rueng tidak pernah mengenal tulisan karena pada saat itu belum ada sekolah disekitarnya termasuk teman-temannya. Dia tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis remaja. Rambutnya selalu diajarkan mamanya untuk selalu dibersih dengan membakar rakas (lemon) dan membakar kelapa, lalu diperas diatas rambutnya. Rambutnya panjang, mukanya cantik dan kulitnya putih. Bola matanya memancarkan cahaya kebiruan yang menambah kenyamanan bagi yang melihat Rueng Rangdang. Tutur katanya yang sopan dan penuh simpatik membuat teman sebayanya selalu tertarik kepada Rueng Randang. Rueng Randang cantik alami. Pakaiannya ala kampung dan tak pernah berdandan. Kecantikan alamiah ini justru menambah keanggunan Rueng Randang. Kecantikkan Rueng Randang tidak tertandingi oleh gadis lainnya seusia dia. Para lelaki sekampung menaruh cinta pada Rueng Randang. Namun, maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Rueng Randang lebih suka hidup bersama denga kedua orangtuanya dan bersama rekan-rekannya yang telah lama sejak masa kecilnya. Niat para pemuda kampung dan sekitarnya terkurung dalam-dalam karena Rueng Randang merupakan gadis rebutan. Keaslian dalam penampilan, keanggunan dalam bertutur kata, elok wajahnya, panjang rambutnya hingga ke pangkal paha bagaikan sebuah bukit yang indah saat fajar menyinari. Tatapan matanya yang aduhaim seolah-olah menyembunyikan sejuta harapan para pemuda. Pahanya yang putih kekuning-kuningan menambah selera para penghuni kampung. Setiap kali pemuda kampung dan sekitarnya bertamu ke rumah orangtua Rueng, yang dia tampilkan adalah senyumannya yang khas. Tetapi dalam sukmanya yang terdalam, Rueng Randang selalu mengikuti dan ingat akan nasihat orangtuanya. Saat Rueng Randang menginjak masa remaja, orang tuanya selalu memberi nasihat. Rueng, kata ayahnya, eme mai naraa dehau ceings kaut, tiba di’a di’a agu tawa terus kudut ise lelo hau cama neho weta dise. Hang tete wase cama-cama. Eme manga teneng latung, tei ise kudut ise kole rasa di’a hang dite ( Rueng, kalau datang saudara laki-laki siapa saja, terima mereka dengan baik-baik dan selalu senyum supaya mereka melihat kamu seperti saudari mereka. Makan ubi sama-sama. Kalau ada masak jagung, beri mereka makan supaya mereka merasa enak makanan kita). Toe nggo’o de mai data rona situ, kudut kawe hang di’a. Ise de cama nong mose dite sengsara keta de ( laki-laki yang dating itu bukan mau mencari makanan enak. Mereka sama seperti hidup kita, sangat sengsara). Hari demi hari silih berganti, kehidupan Rueng Randang semakin dewasa. Dewasa dalam bertindak dan bertingkah laku. Dalam relung hatinya yang terdalam, terbias gelombang kehidupan yang bernuansa bahagia bersama kedua orangtuanya. Belaian kasih saying kedua orangtua Rueng justru mengantar Rueng kepada pola kehidupan yang selalu taat dan patuh kepada orangtua. Kata “ite” bagi semua kalangan baik itu orangtua maupun anak kecil yang lebih muda usianya dari Rueng Randang. Dari dalam mulutnya Rueng Randang tidak pernah menghembuskan kata kasar dan menyakitkan orang lain. Pendidikan keluarga benar-benar membawa Rueng Rangdang ketahap pengenalan diri seutuhnya. Demi ite ema agu ende, aku rela. Kuserahkan seluruh kehidupan ini untuk ema agu endeku yang tercinta. Rueng selalu berusaha membahagiakan hidup ema agu ende. Demi kau aku rela dan demi ema agu ende Rueng membela dan mempertahankan diriku seutuhnya. Nia kaut ata rona ata tiba dite ema agu ende, hitu kole tiba laku. Weki daku ho’o demeu de morin. Rueng Randang tetap bertahan pada pilihan kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya lebih memilih tungku salang (sambung jalan), ai manga anak de weta de ema diha. Toem boran ata rona hitu. Landing ata rona hitu, mberes te duat uma agu dia keta ba wekin. Linggop keta ba wekin, dia keta eme curup agu ise ema agu ise ende. Rueng Randang mencintai laki-laki pilihan kedua orangtuanya yaitu tungku salang. Tak disangka, Rueng Randang harus melewati proses kehidupannya yang tragis. Betapa tidak, Rueng Randang yang dikenal cantik, molek dan rupawan oleh seluruh lapisan masyarakat Todo dan sekitarnya, mengantar Rueng untuk dikenal sampai ke Istana Raja. Raja kaget campur senang. Dalam hatinya, sang Raja senang mendengar berita tersebut. Raja perintahkan serdadunya untuk mengambil Rueng Randang dan antar ke istana. Rueng Randang gadis polos dan campur bodoh takut mendengar Raja. Rueng tidak mau. Rueng berkata, aku adalah perempuan kampong dan dilahirkan dari seorang petani lagi miskin. Aku bukan seorang kerurunan Raja. Mana mungkin Raja mau dengan aku gadis kampungan ini. Para utusan sang Raja tetap bersi keras untuk mengambil Rueng Randang segera menuju istana. Rueng Randang yang tak tahu apa-apa itu, diambil secara paksa menghadap Raja. Sesampainya di istana, Rueng Randang diminta Sang Raja untuk menyerahkan minuman kepada Raja.
Raja menerima minuman yang diserahkan oleh Rueng Randang, lalu raja minum hingga mabuk. Raja mulai menyampaikan amanat kepada seluruh penghuni istana dengan tegas dan jelas. Seluruh penghuni istana mendengar amanat Sang Raja dengan penuh hikmat. Inti amanat Sang Raja ialah ingin mengawini Rueng Randang. Titah Sang Raja menyampaikan hal itu didepan pendopo Niang Todo. Seluruh warga mendengar pernyataan tersebut. Rueng Randang disuruh untuk mengenakan pakaian kerajaan yang seragam dengan Raja.
Berbagai upaya yang dilakukan Raja dengan menyuruh Rueng Randang mengenakan topi Kerajaan pada kepala Sang Raja. Namun, Rueng Randang menolak permintaan Raja untuk mengawininya. Karena Rueng Randang menolak permintaan Raja sehingga Raja marah. Karena itu Raja memutuskan untuk membunuh Rueng Randang. Beberapa orangtua di istana meminta kepada Raja supaya jangan membunuh gadis itu. Orangtua Rueng Randang turut membantu membujuk anaknya. Sekelompok gadis-gadis kampung mengikut titah Raja dari luar Niang. Sebab tidak diizinkan masuk siapa saja bagi yang tidak berkepentingan.
Dari hasil usaha keluarga, tetap Rueng Randang bersikeras dan mati-matian untuk tidak mau menikah dengan Raja. Dari berbagai usaha yang dilakukan, akhirnya Rueng Randang harus dihukum mati. Seluruh warga dan Rueng Randang keluar dari rumah/ mbaru niang. Rueng Randang termenung dan siap menghadapi Sang Ilahi karena pasti dia dibunuh. Rueng Randang lebih senang memilih mati ketimbang nikah dengan Raja. Pilihan yang sulit bagi Rueng Randang. Bagaikan si buah mala kama. Makan, ayah mati. Tidak makan, Ibu mati. Dipersimpangan jalan itulah Nampak raut muka Rueng yang duduk seorang diri sambil membisu. Pertentangan batin yang kian bergejolak dalam sukma Rueng bagaikan gelombang yang kian kemari bergelora tak kunjung padam. Dalam perenungan itu Rueng tetap tegar. Tak lapuk karena hujan, dan tak lejangb karena panas. Ketegaran hatinya membisu Sang Raja yang sedang bernafsu hendak melapah tubuhnya Rueng Randang sang cantik, molek dan rupawan itu. Langit cerah, weang gerak, wancing nggaring buat seluruh gadis mungil di sekitar Istana dengan Rueng Randang sebagai tokoh pembelanya.  Pembelaan martabat sang gadis kini bersinar di istana Raja dan sekitarnya. Betapa tidak, martabat kaum perempuan harus dibela dan dipertahankan. Dibilang Rueng Randang adalah seorang gadis kampung yang tidak mempunyai makna sedikitpun di mata masyarakat. Jikalau Rueng menerima tawaran Sang Raja, pasti Rueng Randang menjadi Ratu Istana, Permaisuri abadi. Namun Rueng Randang justru berpikiran dan menempuh jalan tersendiri dengan memilih mati dibunuh. Sebuah keputusan yang konyol bagi mereka yang haus akan kasta, harta, dan wanita. Tokoh perempuan seperti Rueng Randang dianggap bodoh oleh oleh sejumlah gadis lain yang berkeinginan menjadi seorang Ratu dan Permainsuri istana. Mereka justru senang kalau mereka dipilih Raja menjadi istri. Rueng justru bertentangan dengan para gadis kampung lainnya. Pilihan Rueng tetap pada lebih memilih mati ketimbang nikah dan menjadi penghuni istana. Rueng tidak mau memperhambakan sanak saudaranya yang telah lama menjadi hamba di istana. Rueng menangis campur sedih ketika melihat familinya bekerja sebagai pelayan minuman raja (lege tuak). Rueng merasa iba dengan Bapa Tuanya yang menjadi pesuruh abadi di istana. Rueng memandang ke sekeliling Niang. Dalam hatinya Rueng, hancur luluh melihat pesuruh (babu), taki mendi, diperlakukan di istana. Dari perenungan yang cukup lama, Rueng mengambil keputusan untuk mati. Terakhir, Rueng Randang diikat dan diantar keluar dari mbaru Niang bersama dengan pasukan kerajaan yang telah siap untuk membunuh Rueng Randang.
Diapiti oleh gadis kampung rekan Rueng Randang mengantar Rueng menuju kebagian depan Niang Todo. Menangis campur sedih menyelimuti seluruh warga yang turut serta dalam acara pembunuhan itu. Namun, semuanya takut. Barangsiapa yang menentang akan dibunuh bersama Rueng. Teriakkan kedua orangtua dan sanak saudara Rueng menggema diseluruh wilayah Todo. Lahirlah lagu Rueng Randang.
Acara pembunuhan Rueng Randang tidak dapat dihindari. Belasungkawa silih berganti dari berbagai rekan dekat Rueng Randang. Isak tangis bergema diseluruh horizon langit Todo. Merah legam Sang Surya menyinari seluruh sanubari masyarakat kerajaan. Rumah kecil yang tak berdinding menjadi saksi bisu buat sang gadis Rueng Randang. Batu-batu yang tersusun rapi sang tangan pekarya Manggarai menjadi bisu dan tuli. Kian hari semuanya menjadi saksi seluruh prosesi hidup manusia yang mendiami planet ini.
Disinilah Rueng Randang harus dikorbankan demi sebuah martabat perempuan yang senantiasa diperjuangkan demi masa depan kaum Hawa. Rueng Randang rela mati demi kedamaian dan keadilan. Nasib perempuan sangat prihatin bagi orang yang memiliki berkas-berkas kasih yang mengalir tak berkesudahan. Demi kau aku rela, jatah Rueng Randang kepada sesama gadis kampung.
Diatas batu Rueng Randang dikurbankan. Semburan darah yang keluar dari lehernya mengalir dan membasahi seluruh rerumput yang hijau dipelataran istana Raja. Dihalaman Niang penuh saksi mata dalam sebuah pembunuhan itu.
Kini, Rueng Randang tak bernyawa lagi. Semoga kita berjumpa sampai akhir kandung badan. Kata Rueng Randang dalam kelakuannya yang diperuntungkan bagi kedua orangtuanya beserta sanak saudaranya. Rueng Randang telah pergi, pergi dan pergi terus dengan sejuta makna yang ditinggalkan bagi kita generasi penerus Manggarai.
Tubuh Rueng Randang yang sedang menengadah ke langit tak bernyawa lagi. Langit cerah menyaksikan kepergian sang pejuang kaum Hawa. Setelah dibunuh dengan sebilah keris, Rueng diangkat dan ditunjuk kepada Sang Raja bahwa pasukan telah melaksanakan perintah Sang Raja. Mayat Rueng diangkat menuju istana Raja. Tubuh Rueng Randang yang cantik, molek dan rupawan kini disembunyikan dalam sebuah sarung sebagai tanda bahwa Rueng tak bernyawa lagi. Rueng Randang hanyalah sebuah nama untuk dikenang sepanjang masa.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar