Kamis, 07 Juli 2011

Perpecahan Gereja


1.   Gereja Lutheran
Keadaan Gereja pada abad XVI sangat jelek. Gereja terlibat dalam banyak urusan duniawi. Paus menjadi sangat berkuasa dan memegang supremasi, baik dalam urusan Gereja maupun kenegaraan. Sementara itu, terjadi juga pemilihan Paus yang tidak pantas seperti Paus Aleksander VI dan Leo IX. Sering terjadi kasus korupsi dan komersialisasi jabatan Gereja.
Banyak pejabat Gereja menjadi pangeran duniawi dan melalaikan tugas rohani mereka, sehingga imam-imam paroki tidak terdidik, hidup dengan istri gelap, sering kali bodoh, tidak mampu berkotbah, dan tidak mampu mengajar umat. Keadaan semacam ini terjadi dalam kurun waktu yang lama. Teologi skolastik menjadi mandul dan masalah dogmatis dianggap sebagai perdebatan tentang hal sepele antara aneka aliran teologis. Banyak persoalan teologi mengambang dan tidak pasti. Banyak kebiasaan dalam umat belum seragam. Iman bercampur takhayul, kesalehan berbaur dengan kepentingan duniawi. Agama sering merupakan rutin sosial sehari-hari, yang profane dan yang suci bercampur aduk.
Dalam situasi seperti itu, banyak orang yang bermaksud untuk memperbaharui hidup Gereja, namun tidak ditanggapi. Kemudian, tampillah Martin Luther. Luther mula-mula menyerang masalah penjualan indulgensi. Kemudian, ia membela beberapa pandangan baru, khusunya ajaran tentang “pembenaran hanya karena iman” (solafide). Luther menyerang wewenang paus dan menolak beberapa ajaran teologi sebelumnya dengan bertumpu hanya pada Alkitab sesuai dengan tafsiran sendiri.
Luther semula pasti tidak menginginkan perpecahan. Ia ingin memelopori pembaharuan. Tetapi ia terseret oleh arus yang disebabkan oleh rasa tidak puas yang umum dalam umat yang mendambakan pembaharuan yang bentuknya kurang jelas. Ajaran-ajaran para teolog yang mendukung perbuatan-perbuatan saleh, kini diragukan Luther. Indulgensi, stipendia untuk Misa arwah, sumbangan untuk membangun Gereja bersama dengan patung-patung yang menghiasinya, pajak untuk Roma, ziarah dan puasa, relikui dan kaul-kaul, semua tidak ditemukan dalam Kitab Suci, maka ditolak oleh Luther. Luther menegaskan: semuanya itu tidak bermanfaat untuk memperoleh keselamatan. Yang perlu hanya satu: beriman (sola fide). Orang yang percaya dibenarkan Allah tanpa mengindahkan perbuatan baik manusia (sola gratia). Lalu, dengan sendirinya orang yang dibenarkan itu akan berbuat baik dengan bebas dan tenang, bukan karena cemas akan keselamatannya. Jadi, rasa lega membuat orang tertarik kepada khotbah Luther yang disebarluaskan di seluruh Jerman.
Sola fide- fides ex audito- “Hanya iman, dan iman karena mendengan” itu sudah cukup untuk menjamin keselamatan. Maka, tujuh Sakramen tidak penting lagi, selibat tidak berguna, hidup membiara tidak berarti. Semuanya ini ‘buatan paus’ saja untuk mengejar kuasa dan untung. Maka, imam, biarawan, dan suster berbondong-bondong meninggalkan biara mereka masing-masing.
Luther didukung oleh banyak kelompok dengan alasan berbeda-beda, misalnya para bangsawan yang mengingini milik biara, warga kota yang memdambakan kebebasan berpikir, para petani yang ingin lepas dari kerja rodi dan pajak, para nasionalis yang membenci privilege Roma, para humanis yang ingin membuang kungkungan teologi skotlastik, pemerintahan kota-kota kerajaan yang mencium kesempatan memperluas wewenang mereka di kota. Maka, Luther tampil sebagai pahlawan pembebasan. Ia disambut dengan antusias. Orang mengira akhirnya pembaharuan sungguh-sungguh dimulai juga. Mula-mula Roma kurang menyadari apa yang terjadi, kemudian bereaksi salah, sehingga tidak mampu mengarahkannya lagi.
Banyak hal baru dimulai, namun tidak jarang merupakan perusakan yang lama saja. Bukan reformasi Gereja yang lama. Tetapi, orang sudah menunggu terlalu lama. Mereka tidak sabar lagi. Maka, ekskomunikasi Luther oleh paus (1520) dan pengucilan oleh kaisar (1523) tidak dapat membendung gerakan ini lagi. Roma tidak memahami reaksi dahsyat di Jerman ini dan masih lama bertindak seperti pada abad-abad sebelumnya.
Luther lalu mulai juga menyerang umat yang setia kepada paus. Tuntutannya semakin radikal. Persatuan Gereja tidak dicari lagi, bahkan diboikot. Para bangsawan yang mendukungnya tidak tertarik pada persatuan kembali, karena antara lain milik gerejani yang mereka rampas tidak mau mereka kembalikan. Unsur keagamaan, politis, dan pribadi di kedua belah pihak menyulitkan persatuan kembali. Reformasi selesai; umat terpecah-belah ke dalam kelompok Katolik, Lutheran, Kalvinis, Anglikan, dan sebagainya.
2.   Gereja Kalvinis
Tokoh reformasi lain adalah Yohanes Calvin (1509-1564). Tokoh ini tidak jauh berbeda dengan Luther. Ia ingin memperbaharui Gereja dalam terang Injil. Calvin dalam bukunya yang berjudul Institutio Christianae Religionis menggambarkan Gereja dalam dua dimensi, yakni Gereja sebagai persekutuan orang-orang terpilih sejak awal dunia yang hanya dikenal oleh Allah dan Gereja sebagai kumpulan mereka yang dalam keterbatasannya di dunia mengaku diri sebagai penganut Kristus dengan ciri-ciri perwataan Injil dan pelayanan sakramen-sakramen. Pengaturan Gereja ditentukan oleh struktur empat jabatan, yakni pastor, pengajar, diakon, dan penatua.
3.  Gereja Anglikan
Anglikantisme bermula pada pemerintahan Henry VII 1509-1547. Di Inggris raja Henry VII menobatkan dirinya sebagai kepala Gereja karena Paus di Roma menolak perceraiannya. Anglikantisme menyerap pengaruh Reformasi, namun mempertahankan beberapa corak Gereja (Uskup-Imam-Diakon), sehingga berkembang dengan warna yang khas.
4.  Gereja Katolik
Reaksi dari Gereja Katolik Roma atas gerakan reformasi ini adalah “Kontra –Reformasi” atau “Gerakan Pembaharuan Katolik”. Gerakan pembaharuan ini dimulai dengan menyelenggarakan Konsili Trente. Melalui Konsili Trente (1545-1563), Gereja Katolik berusaha untuk “menyingkirkan kesehatan-kesehatan dalam Gereja dan menjaga kemurnian Injil”. Konsili juga menegaskan posisi Katolik dalam hal-hal yang disangkal oleh pihak Reformasi (Soal Kitab Suci dan Tradisi, Penafsiran Kitab Suci, pembenaran, jumlah sakramen-sakramen, kurban misa, imamat dan tahbisan, pembedaan imam dan awam serta lain-lainnya).
Konsili Trente dan sesudahnya menekankan Gereja sebagai penjaga iman yang benar dan utuh, ditandai dengan sakramen-sakramen. Khusunya ekaristi yang dimengerti serta dirayakan sebagai kurban sejati. Gereja bercorak hirarkis yang dilengkapi dengan jabatan-jabatan gerejani dan imamat yang berwenang khusus dalam hal merayakan ekaristi, melayani pengakuan dosa: Gereja adalah kelihatan dan ini menjadi jelas dalam lembaga kepausan sebagai puncaknya; Gereja mewujudkan diri sebagai persekutuan para kudus lewat penghormatan pada mereka (para kudus); Gereja menghormati Tradisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar