Mencari Jati Diri Teologi Pembebasan Di Tengah Kemiskinan dan Ketertindasan Masyarakat NTT
Kanisius Teobald Decky, M. Th.
Abstract: Since the second Vatican council echoed throughout the world, Church of South East Region has become aware of the need to take account of the native culture of local society. Various efforts and activities in inculturation, dialogue beetwen religions, and liberation movement appeared in the reflection on theology. Consequently, a mult-sector dialoque, as the Bishop Conference of Asia called it “Triplet Dialogue” or “dialog rangkap tiga”, appeared through the efforts. Christian communities have been aware that they can seriosly build the local church of South East Region if they build a continual dialogue between cultures, religion, experiences within economic, social and political lives of South East people. The focus of the writing is to know how the relationship between the theological reflection and the social context of life, which is oppressed by the poverty and structural oppression, develop in the church.
Key-words: Keberpihakan, kemiskinan, ketertindasan, teologi pembebasan
1. Pengantar
Hampir setiap hari kita membaca di media massa tentang masalah krusial yang menimpa masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Masalah – masalah itu berkutat antara bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim global sampai pada bencana yang ditimbulkan karena keserakahan manusianya. Selain dianggap wilayah kritis nan gersang, NTT kerap dinilai sebagai wilayah yang paling banyak menimbulkan belas kasihan. Masalah kemiskinan yang memprihatinkan, sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak dieksplorasi secara maksimal, korupsi yang telah membudaya dan melibatkan hampir semua elemen masyarakat, pengangguran intelektual yang sulit ditekan, perjudian yang sukar diberantas, kekerasan dan ketidakadilan sosial dan hukum, budaya yang kian merosot dan tak jua mampu beradaptasi dengan kemajuan pesat yang ditimbulkan trend modernitas dan kehidupan religius yang seolah-olah menuju kepunahan.
Menghadapi Masalah-masalah yang muncul ke permukaan kenyataan masyarakat NTT, pelbagai pihak memberikan tanggapan serentak jawaban. Pemerintah dengan prosedur hukum dan kebijakannya, coba mempresentasikan jawaban itu dalam program yang dicanangkannya. Demikian juga lembaga-lembaga lain, termasuk Gereja. Penduduk NTT sebagian besar adalah orang-orang Kristen. Bagaimana upaya Gereja menjawabi tantangan aktual NTT, adalah sebuah pertanyaan yang urgen untuk dijawab. Tulisan ini berbicara tentang upaya menemukan Teologi Pembebasan, sebuah usaha untuk menemukan jati diri Teologi di tengah kemiskinan masyarakat untuk menemukan pembebasan. Kerangka pembebasan memposisikan diri pada historisitas manusia yang selalu berada dalam “proses menjadi” terus menerus. Bagaimana pertautan antara refleksi teologis dan konteks aktual yang terperangkap dalam keterjajahan kemiskinan dan struktur yang menindas, merupakan sisi tilik yang coba menjadi fokus tulisan ini dalam usaha menemukan teologi yang kontekstual.
2. Teologi Pembebasan: Refleksi Historis dan Praksis
2.1. Kilas Balik Sejarah
Pertama nian saya ingin mengemukakan arti teologi. Kata “teologi” berasal dari kata Yunani “theologia” yang secara etimologis berarti ilmu (logia) tentang Allah [Theos]. Sebagai fides querens intellectum [iman yang mencari pemahaman], teologi menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat. Dengan kata lain teologi adalah pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis dan koheren tentang apa yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan dengan wahyu itu. Di hadapan misteri ilahi, teologi selalu “mencari” dan tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai. Untuk itu dalam pencariannya, teologi terbagi dalam berbagai gaya dan bidang sesuai dengan kebutuhan riil manusia, dan salah satunya adalah Teologi Pembebasan.
Sejak abad ke-15, saat Columbus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolumbia, sejarah kolonialisme mulai dibentangkan di negeri Amerika Latin. Negara-negara Barat khususnya Spanyol dan Portugis datang ke negeri ini dan menjadi penjajah. Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan dan berdiri menjadi negara-negara baru. Tragisnya, meski kolonialisasi politis berakhir, tidak diikutsertakan kebebasan yang integral. Kolonialisme politik diganti oleh kolonialisme ekonomi. Puncak eksploitasi terjadi dalam dasawarsa 1950-an ketika Amerika Latin mengadopsi model ekonomi Barat, yakni kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti yang diharapkan tetapi malah mengakibatkan kemiskinan yang masif. Hanya segelintir orang yang mengalami kemakmuran sedangkan mayoritas terbesar masyarakat mengalami kemiskinan yang ekstrem. Kapitaslisme justru semakin memantapkan struktur sosial ekonomia yang eksploitatif.
Berhadapan dengan realitas kemiskinan ini, Gereja Amerika Latin pada umumnya tidak banyak melakukan hal yang berarti selain kegiatan sosial karitatif seperti mendirikan dan mengelolah rumah sakit, panti asuhan dan lembaga pendidikan. Gereja Amerika Latin hidup dalam dunia getto-nya sendiri. Konsekuensinya jelas, Gereja Amerika Latin mengambil posisi netral terhadap kenyataan kemiskinan yang masif. Kemiskinan adalah urusan negara dan karena itu gereja tidak perlu membuat intervensi atasnya. Melalui posisi netralnya, Gereja telah mendukung status quo kemiskinan. Netral berarti diam dan pasif terhadap kenyataan yang ada. Itu artinya turut melanggengkan realitas kemiskinan meskipun realitas tersebut merupakan ketidakadilan sosial dan bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus dan Gereja.
Berpijak pada kenyataan ini muncul refleksi dan reaksi yang coba diwakili oleh tiga kelompok besar. 1) Umat kristen kebanyakan yang dalam pengalaman hidup hariannya merasakan jarak besar yang memisahkan Gereja dari Injil dan keterasingan Gereja dari dunia nyata Amerika Latin. 2) Kelompok orang yang dalam perjuangannya menemukan Gereja sebagai kekuatan penghalang untuk membentuk masyarakat yang lebih adil. 2) Kelompok elite kaya dan berkuasa yang merasa tidak senang dengan inisiatif dan gerakan perjuangan yang dilakukan oleh beberapa kelompok dinamis.
Refleksi yang muncul di atas ketertindasan dan kemiskinan rakyat Amerika Latin diberi nama Teologi Pembebasan (Liberation Theology). Teologi Pembebasan adalah sebuah nama untuk teologi yang muncul dan berkembang di Amerika Latin dan berorientasi pada kemerdekaan. Gerakan ini meluas dan menjadi sebuah perjuangan pergerakan di Amerika Latin karena diilhami oleh pelbagai refleksi. Refleksi-refleksi itu antara lain: 1) Peristiwa pembebasan orang Israel dari Mesir, pewartaan kenabian yang menuntut keadilan, dan pewartaan Kerajaan Allah oleh Yesus Kristus. 2) Membaca Kitab Suci dalam terang pembebasan integral; dan 3) Mengarahkan diri pada akar di mana struktur-struktur ketidakadilan dan ketergantungan ekonomi menindas begitu banyak orang miskin.
Tokoh-tokohnya yang terkenal: Juan Luis Segundo, John Subrino dan Gustavo Gutierez melalui bukunya yang berjudul A Theology of Liberation, muncul untuk menyuarakan Teologi Pembebasan. Para tokoh gerakan ini sangat memperhatikan peranan teologi dalam mendorong terjadinya perubahan sosial dan mengembangkan spiritualitas pembebasan yang berpijak di atas tanah kehidupan rakyat, iman dan perjuangan mereka.
Menanggapi gerakan Teologi Pembebasan di Amerika, pada tahun 1987 dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II mengajak seluruh dunia untuk mengusahakan “perkembangan dan pembebasan” yang mewujudkan diri dalam cinta dan pelayanan sesama, khususnya mereka yang paling miskin.
2.2. Menyesuaikan Konteks, Menemukan Format Baru Berteologi
Gerakan Teologi Pembebasan kemudian menjadi gerakan mondial yang merambah hampir ke seluruh dunia, khususnya negara-negara yang tercakup dalam “dunia ketiga”, termasuk Asia dan Afrika, negeri yang kerap diidentikkan dengan “dunia ketiga”. Dalam menjawabi soal dunia ketiga, yang miskin, terpecah, tertindas, bergantung dan yang sedang membangun kepercayaan diri untuk memberikan alternatif baru, teologi dunia ketiga terbentuk. Sehubungan dengan soal umum ini ada beberapa ciri umum dari teologi ini.
1) Memilih berpihak pada yang miskin dan lemah. 2) Solidaritas dengan mereka yang menderita dibentuk pada level yang sangat mendasar dalam komunitas-komunitas dasar entah bersifat kristen atau manusiawi/ekumenis, untuk hidup dan berjuang bersama. 3) Untuk betul berakar dan percaya diri coba dijawabi tantangan indigenisasi dan inkulturasi. 4) Metode baru berteologi. Cara berteologi klasik yang hanya berkutat di ruangan (kelas, belajar, tamu) ke dapur, bergumul dengan soal-soal kehidupan sehari-hari sehingga menghasilkan teologi yang fragmentaris, tidak lengkap dan pluralistik, yang menyatukan bacaan Kitab Suci, doa, diskusi dan refleksi. Bergerak dalam satu lingkaran hermeneutik yang memadukan aksi dan refleksi, passing over dan coming back, suspicion dan retrieval. Perpaduan ini disebut “praxis”.
5) Bergumul dengan dosa dan kejahatan yang bersifat pribadi (kultural) dan sistemik (struktural) dengan satu strategi khusus: Kritik diri (otokritik) mesti dibuat untuk bisa (credible dan berani) mengeritik yang lain. Dalam berpihak pada kaum miskin dan lemah, pergumulan mesti juga dibuat dengan mereka yang sudah menciptakan kesengsaraan dan ketidakberdayaan kaum miskin dan lemah itu. Cinta mesti dibuat tanpa melupakan keadilan, Salib mesti dipikul untuk melengkapi yang masih kurang dalam penderitaan Kristus dalam menebus dunia.
6) Allah kita adalah Tuhan sejarah. Dia sedang bekerja di dunia ini, untuk membebaskan dan menyelamatkan umatNya. Upaya pembebasan dan pemberdayaan mereka yang tertindas dan lemah merupakan partisipasi kita dalam kerja Allah. 7) Tuhan sejarah sudah diwahyukan dalam Yesus Kristus. Dia menunjukkan kita jalan bagaimana berpartisipasi dalam karya Allah di dunia ini dan menjiwai kita dalam upaya berpartisipasi ini. 8) Yesus Kristus Sabda yang menjelma, sebagai Logos abadi hadir dan bekerja secara universal. Kepercayaan akan kenyataan ini menggerakan kita untuk membangun satu ekumene baru dan bekerja dengan semua pihak demi satu tujuan yang sama yakni: menegakkan keadilan, kedamaian dan keluhuran martabat manusia lelaki-perempuan dan alam ciptaan.
Jika Teologi Pembebasan di Amerika Latin lahir dari kesejarahan dan konteks aktual mereka, maka dalam bingkai yang sama, Afrika melahirkan “pembebasan” dalam teologi inkulturasi dan Asia teologi ekumenis . Misi pembebasan inilah yang menjadi bahasa dan praksis bersama sesuai dengan pengalaman dan kenyataan serta kebutuhan dominan. Meskipun demikian, Teologi Pembebasan dalam wilayah Asia dan Afrika yang telah menemukan nama dan bentuk barunya, tetap memiliki keterkaitan dengan teologi Pembebasan Amerika Latin tersebab mempunyai karakteristik dan persoalan yang sama.
3. Menuju Konteks NTT: Gereja Yang Berpijak dan Terlibat
3.1. Membaca Konteks NTT
Gereja masuk ke NTT sejak abad ke-16 dan kemudian lebih intensif sejak abad ke-19. Sejak Gereja hadir terdapat pelbagai usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pengenalan kehidupan religius dan proses pendidikan formal dan informal. Selain itu, melalui Gereja diperkenalkan kepada masyarakat NTT rumah sakit dan panti-panti asuhan. Sejak saat itu pula, Gereja menjadi sebuah lembaga yang dekat dan menyatu dengan kehidupan umat NTT.
Dalam proses penyatuan total dengan masyarakat NTT, ternyata Gereja cenderung menampilkan diri sebagai “yang tetap asing” dalam pandangan orang NTT. Gereja [merasa] mewakili kultur Barat, termasuk dalam cara ia berteologi. Adat istiadat orang asli serta kepercayaannya akan Wujud Tertinggi dianggap sebagai penyembahan berhala dan karenanya perlu dimusnahkan. Penghargaan akan nilai-nilai religius asli sangat kurang.
Melalui lembaga dan strukturnya yang mapan, Gereja berjalan dalam kerangka logis dan sistematis. Kerangka ini hanya bisa diimbangi oleh lembaga-lembaga yang memiliki metode dan prinsip yang sama. Tragisnya, masyarakat NTT kebanyakan adalah masyarakat agraris yang sulit memahami kerangka logis-sistematis dalam keseluruhan hidup mereka. Karakteristik masyarakat NTT sulit beradaptasi dengan lembaga Gereja. Karena itu, ada kesenjangan metodis yang terjadi antara lembaga Gereja di satu pihak dengan masyarakat di pihak lain. Metode yang dipunyai Gereja tidak adaptif dengan kenyataan masyarakat dan hanya bisa diimbangi oleh pemerintah yang memiliki kerangka yang sama.
Dampak yang timbul ialah bahwa Gereja dekat dengan pemerintah. Kedekatan ini bisa membawa sekaligus dua efek. Pertama, Gereja bisa melayani umat-masyarakat yang satu dan sama melalui pelbagai program yang multiaspek. Ada missio bersama yang harus dijalankan demi tujuan yang sama. Akibat lanjutnya, Gereja-Pemerintah menjadi mitra yang solid di berbagai sektor kehidupan: pendidikan, kesehatan, pembukaan isolasi untuk wilayah-wilayah terpencil, dsb. Kerja sama yang tidak kritis bisa melupakan kekhasan yang dimiliki oleh dua lembaga ini membawa akibat buruk bagi masyarakat. Kekuasaan pemerintah dilegitimasi (atau tetap menjaga netralitas dengan diam, mendukung status quo) oleh Gereja, termasuk kalau kekuasaan itu terperosok ke dalam jurang bencana sosial: KKN, kekerasan, ketidakadilan, dsb. Kedua, Gereja-Pemerintah tetap menjaga kekhasan tetapi memiliki opsi yang sama untuk umat-masyarakat. Kedua lembaga ini otonom, tetapi saling membagi (share of power). Jika ini yang terjadi, Gereja bisa tetap menjalankan misi profetisnya. Ia menjadi sebuah kekuatan alternatif yang berdiri sendiri, tahan terhadap pengaruh luar, tak rentan terhadap intervensi yang mematikan.
Gereja regio Nusa Tenggara, termasuk NTT berjalan dalam dua tegangan ini. Dalam banyak peristiwa yang dialami umat-masyarakat, gereja tidak memberikan reaksi yang jelas. Ketika rakyat dari Colol-Manggarai tertembak dan dianiaya tanggal 10 Maret 2005, Gereja terkesan tidak menyuarakan posisinya secara jelas. Dalam sikap diamnya, Gereja seolah-olah melegitimasi kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat-umat Manggarai. Kasus aktual, ketika Boni Tampoi, mantan Kapolres Manggarai divonis bebas oleh PN Kupang, Gereja regio Nusra tak bergeming sedikitpun untuk memberikan komentar ataupun pernyataan sikap. Gereja dan institusinya menjadi terpencil, terlempar dari pusat aktivitas real umatnya.
3.2. Menemukan Jati Diri Teologi NTT yang Membebaskan
Untuk menghasilkan sebuah Teologi yang membebaskan, berikut ini saya mempresentasikan tiga prinsip dasar yang harus diindahkan oleh setiap penciptaan refleksi pembebasan dan pemerdekaan di NTT.
3.2.1. Gereja yang Berdialog
Pada zaman lampau ketika Gereja mewartakan Injil ke wilayah NTT, para misionaris datang dengan anggapan yang keliru tentang budaya asli. Praktek-praktek keagamaan asli kerap dianggap sebagai bentuk penyembahan berhala. Karena itu mereka dijauhkan dari akar kehidupan lokal dan kehilangan identitas budayanya. Kategori negatif semacam itu sudah melekat sedemikian erat maka sulit untuk diubah. Konsekuensinya, penghargaan terhadap budaya asli sangat kurang. Orang-orang yang baru mengenal Kristus harus juga “bertobat” (baca: melepaskan) dari budaya mereka sendiri. Di sini kebudayaan Kristen dianggap sebagai yang harus diterima untuk serentak mengeliminasi budaya sendiri. Metode yang dipakai ialah instruksi yang beraroma paksaan dengan “ancaman kutukan”.
Pertemuan antara masyarakat asli dengan Gereja NTT menghasilkan dua hal penting. Pertama, suatu campuran terjadi antara unsur kekristenan yang penting bagi masyarakat dan kebudayaan asli mereka. Hal ini bisa dinamakan sebagai inkulturasi spontan. Dalam istilah Antropologis, sinkretisme merupakan suatu “syarat mutlak” (sine qua non) demi pengakaran Injil di antara kebudayaan-kebudayaan lain. Kedua, oleh orang yang beragama muslim, kehadiran misi Gereja Katolik maupun Zending Protestan merupakan bentuk penjajahan baru karena terkait erat dengan “pemain” yang sama yakni orang Eropa. “Penjajahan” dalam bentuk lain juga dirasakan oleh kebudayaan-kebudayaan asli.
Sejak gema Konsili Vatikan II bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia, Gereja regio Nusa Tenggara semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai “dialog rangkap tiga”. Komunitas-komunitas Kristiani menjadi sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal NTT yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik orang NTT.
Dalam dialog yang mengedepankan lonto leok (musyawarah berdasarkan persaudaraan), terdapat komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Pembebasan NTT berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah melanda NTT dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini, pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja NTT mengembangkan relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin memahami Gereja regio NTT dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan konteks mereka.
Konsekuensinya jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung yang sanggup membahasakan kebutuhan riil umat. Gereja karenanya tidak berarti singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di kantor DPR, di kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus. Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam namaNya, di situ Allah hadir (Mat 18:20).
3.2.2. Gereja yang Membebaskan
Tekanan kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang NTT menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan. Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri. Orang NTT rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat NTT.
Gereja yang berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan masalah-masalah orang NTT. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana nilai-nilai budaya orang NTT dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka, partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja NTT menciptakan suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai (didengarkan) dan setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis.
Dialog itu sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan. Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri. Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang NTT. Dalam budaya dialogal, orang NTT akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.
Kebudayaan kosmik orang NTT telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan (terlepas dari akar budaya asli dan menjadi ragu atasnya) mereka ditawarkan untuk membuka diri terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan ditemukan.
Konkritnya, ada beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral. Pertama, dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan orang NTT bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani (yang dalam awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara alami) yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang NTT maupun tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan membebaskan orang NTT dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma ciptaan misionaris masa lampau.
Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari orang NTT. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang NTT secara aktif. Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Provinsi NTT hanya menjadikan kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif, membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif terhadap budaya lokal.
Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan Pemprov NTT, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja NTT kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin (Mat 5:13) atau lampu yang tak berminyak (Mat 25:3). Orang NTT tidak terlalu membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral yang mewah. Gereja NTT harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat NTT selama ini lebih banyak dilakukan oleh individu-individu tertentu bersama pers dan LSM yang cepat tanggap terhadap persoalan publik. Di manakah peran institusi Gereja? Gereja akan tetap dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah tiba waktunya Gereja NTT keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah tubuh bersimbah darah.
3.2.3. Gereja Milik Umat
Institusi Gereja dan institusi religius di NTT menjadi bagian yang terpisah dari kehidupan umat. Pemisahan itu semakin tegas tatkala kaum religius dan para imam memiliki gaya hidup yang dianggap asing oleh umat. Disebut “asing” karena kerap tidak mencirikan identitas mereka sebagai gembala yang sederhana, penuh komitmen dalam melayani umat, termasuk siap membela kepentingan umat. Gereja seolah-olah hanya sebatas institusi. Kenyataan ini membuat Gereja NTT masih jauh dari harapan Konsili Vatikan II sebagai umat Allah yang berziarah.
Karena itu, apa yang menjadi tantangan terbesar Gereja ialah menjadikan dirinya bagian dari kehidupan umat. Ia akan menjadi milik umat jika para imam, kaum religius menampilkan diri sebagai gembala yang menjaga kawanan domba, yang membawa diri sebagai bagian dari umat yang masih sederhana, terikat dalam budaya yang kental dengan kultur agrarisnya. Usaha mencari keterjalinan budaya dan ajaran iman Kristen merupakan buah terindah dari pergumulan teologi pembebasan.
Sebenarnya persoalan semacam ini tidak khas milik umat NTT. Di berbagai tempat Gereja mengalami hal yang sama, termasuk seluruh kawasan Asia. Tantangan besar bagi Gereja Asia dewasa ini ialah mendorong kaum awam, biarawan dan imam meninggalkan tempat berteduh Katoliknya yang aman dan bersama-sama dengan sesama Kristennya, membawa Injil ke dalam berbagai kekuatan yang kacau dan kasar serta saling berlawanan, kekuatan mana yang akan membentuk Asia pada abad ke-21. Di tengah-tengah tabrakan berbagai kepentingan ini, orang-orang Kristen akan menemukan akar yang sesungguhnya dari berbagai masalah yang sedang dihadapi Asia modern, pun pula landasan manusiawi dan religius yang mereka miliki bersama-sama dengan orang Asia yang beriman lain. Penemuan akar jati diri budaya yang diperhadapkan dengan ajaran tradisi Kristen menghasilkan iman sejati yang menjadi dasar Gereja milik umat.
Sekaranglah saatnya Gereja terlibat dalam memupuk benih iman dan memberdayakan orang-orang NTT dari dalam agar mereka menyadari potensi dan kekuatan mereka sendiri. Maksudnya supaya mereka bersatu menghadapi kekuatan opresif. Mereka dituntun untuk mencapai tujuan ini bukan melalu proses kemarahan dan kebencian terhadap kekuatan dan struktur penindas, melainkan melalui transformasi bertahap ke dalam kelompok murid Yesus, menimba sinar kekuatan dari Tuhan yang bangkit dan berkumpul di tengah mereka dari karya Roh Kudus di dalam diri, budaya dan kehidupan aktualnya.
Tiga rekomendasi pastoral untuk Gereja regio Nusa Tenggara di atas dapat dipadatkan dalam beberapa point berikut ini. Pertama, kalau Gereja menyembah mammon yakni: uang dan kuasa, maka sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap orang kaya dan berkuasa yang merupakan penindas rakyat NTT. Arah praksis pastoral juga akan berubah, Gereja akan merasa aman dengan diakonia karitatif tetapi bukan diakonia sosial, atau dengan pelayanan sosial tapi bukan aksi sosial. Kedua, terdapat dua tugas pelayanan Gereja dalam menghadirkan dirinya di NTT, yakni pelayanan keimanan untuk menciptakan rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik yang membebaskan. Ada dialektika antara rekonsiliasi dan konflik dalam kehidupan rakyat NTT. Gereja terpanggil untuk menjadi pembawa “hambor” (damai) di tengah rakyat serentak membawa konflik di tengah rasa damai yang palsu.
Ketiga, berhadapan dengan para korban, Gereja mesti mengidentikan dirinya dengan mereka. Identifikasi diri ini bukan merupakan penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang memampukan, melalui mana kekuatan – kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan berkat kuasa kebangkitan. Di sini dituntut dari Gereja sebuah peran ganda, bukan hanya profetis tetapi juga politis. Keempat, untuk merubah situasi ketidakadilan, kita mesti membuat analisis atas seluruh situasi dengan menggunakan pendekatan sistemis yang bermaksud mematahkan monopoli para penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah serta mendorong mereka menemukan jati diri dan martabat sebagai orang bebas. Untuk sampai pada gerakan pembebasan kaum lemah, Gereja harus bekerja sama dengan mereka. Memang di sini butuh kesabaran dari pihak Gereja dan merupakan proses pengosongan diri dari kecenderungan menggandeng pihak - pihak yang kuat dan berkuasa.
Kelima, pada akhirnya Gereja menciptakan komunitas ketetanggaan tersebab dari hakekatnya Gereja memiliki tugas missioner. Kelompok - kelompok ini membentuk satu nucleus baru. Partisipasi komunitas basis dalam membentuk Gereja lokal yang kuat mulai dari kelompok inti. Komunitas-komunitas inilah yang memiliki kisah - kisah hidup yang perlu diceritakan. Dalam pergumulan terus menerus, antara pengalaman hidup dan refleksi iman atasnya, mereka dapat menemukan iman sejati yang menjadi milik mereka. Di sinilah dialog itu menjadi mungkin karena keterkaitan dan keterlibatan setiap elemen secara aktif. Ini jugalah yang menjadi kisah baru Gereja NTT, mana kala ia sendiri hadir dan turut mengambil bagian di dalamnya dan membiarkan dirinya dibentuk oleh situasi dan pengalaman mereka. Sebuah kisah di mana Gereja menjadi “teks” baru yang berbicara dalam “konteks” baru pula.
4. Kesimpulan
Menjadi jelas buat kita bahwa NTT membutuhkan sebuah teologi yang membebaskan umat-masyarakat dari kenyataan kemiskinan-kemelaratan dan ketertindasan refleksi teologis lama yang mengangkangi kemanusiaan kita di hadapan Allah. Kita perlu menemukan sendiri matriks teologi yang lahir dari pengalaman kemiskinan dan ketertindasan umat-masyarakat NTT. Usaha ini dimulai dari cara Gereja memahami diri dan konteks di mana ia berada.
Ada dua sikap yang bisa menjadi pilihan Gereja untuk menemukan jati diri teologi yang membebaskan. Jika ia tetap lebih mengutamakan kemapanan lembaga maka Gereja akan tetap menjadi sebuah institusi yang kuat tetapi tidak memiliki daya pengaruh yang luas. Ia hanya menjadi milik penguasa yang lalim dan rejim predator. Karena itu ia menjadi institusi tanpa isi. Tetapi jika ia peduli terhadap ratap tangis kemiskinan dan ketertindasan yang diakibatkan oleh struktur yang eksploitatif, ketidakadilan dan pemasungan oleh kekuasaan yang rakus dan loba, serta berani menjadi martir, maka ia (mungkin) membuat institusi babak belur tetapi dalam kehancuran lembaga (yang dominan sebatas sarana) ia tetap memiliki jati diri karena substansinya tetap mengemuka, yakni memuliakan martabat kemanusiaan di hadapan Allah dan manusia serta semua isi semesta.
Dua ekstrim ini merupakan pilihan yang diambil jika Gereja memiliki keberanian. Bisa jadi Gereja tetap menjadi orang Samaria yang baik hatin (Luk 10:25-37). Dia merawat orang yang dianiaya dengan mendirikan rumah sakit, panti asuhan, posko bantuan dan lembaga sejenisnya (berada pada tataran kuratif semata). Tiap hari orang yang dirampok semakin banyak. Padahal, yang paling penting ialah menghentikan perampokan sehingga tidak terjadi aksi kekerasan terhadap korban (sekaligus preventif). Di sini Gereja perlu membuat identifikasi terhadap kerja sama yang tidak sehat dengan lembaga lain. Sikap kritis dan otonom membantu Gereja untuk menyuarakan suara Allah yang benci terhadap kekerasan, kelaliman dan ketertindasan yang menimpa kemiskinan rakyat jelata NTT. Sebuah teologi yang membebaskan hanya muncul dari keberpihakan, refleksi dan aktus yang terbangun di atas situasi dan kenyataan ini.***
REFERENSI
Bevans. Steven, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria Florisan. Maumere:
Ledalero, 2002.
Chen. Marthen, Teologi Gustavo Gutierrez,. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Conterius. Wilhelm Djulei, “Teologi Misi”, Bahan Kuliah. STFK Ledalero, 2004.
Decky. Kanisius Teobald, Agama Katolik: Berada Pada Persimpangan?
Ruteng: LPA, 2005.
________, “Persaudaraan Menurut Tradisi Lisan Orang Manggarai: Sebuah Upaya
Membangun Teologi Kontekstual”, Thesis. Maumere: STFK Ledalero, 2005.
Dian 18 Juni 2006: “Sikka Kelaparan, Warga Makan Putak”.
Dister. Niko Syukur, Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
________, Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1985.
Dokumen Konsili Vatikan II. terj. Robert Hardawiriana, Jakarta: Obor, 1993.
E. Dussel, A History of the Church in Latin America. Grandrapids, Michigan:
Eerdmans, 1981.
Flores Pos 19 Juli 2006: “Ratusan Petani Demo Tolak Putusan PN Kupang”,
“Desak SBY Sikapi Serius”, “SPM Nilai DPRD Khianati Rakyat”.
Flores Pos, 20 Juli 2006: “Fonis Bebas Tak Hapus Hutang Darah”.
Flores Pos, 17 Juli 2006: “Hakim PN Ruteng Dilapor ke Komisi Judisial”.
Gutierresz. Gustavo, The Power of the Poor in History. Maryknoll, New York: Orbis
Books, 1983.
________, A Theology of Liberation. Maryknoll, N.Y: Orbis Book, 1973.
Hayon. Yoseph Suban, Teologi Asia. Maumere: Ledalero, 1999.
L. Boff dan Clovis Boff, Introducing Liberation Theology. Quezon City:
Claretian Publications,1987.
O’Collins. Gerald, dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Prior. John Mansford, “Menuju Suatu Evangelisasi Baru Di Antara Masyarakat Nus
Tenggara” dalam: Georg Kirchberger dan John Mansford Prior [eds.], Mengendus
Jejak Allah Dialog Dengan Masyarakat Pinggiran Jilid II. Ende: Nusa Indah,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar