Selasa, 12 Juli 2011

MEMBACA DI USIA DINI


Edy Dikiman Membaca.jpgDikiman Membaca.jpg
   Semua orang sepertinya terbawa gelombang dan hanyut dalam arus reformasi sehingga seakan-akan lupa. Presiden RI pernah mencanangkan Mei sebagai Bulan Buku Nasional dan September, yaitu Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. Selama bulan Mei dan September 1998 hampir tidak ada tulisan yang berkaitan dengan perbukuan di media cetak. Tidak terdengar lomba-lomba yang bernuansa gemar membaca. Pemilihan Putrid an Pangeran Buku pun terhenti dan sirna tanpa berita.
   Pengalaman dalam tahun 1998 membaca kesaksian bagaimana Bulan Buku Nasional, Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan terdidih secara menyedihkan dalam keramaian dan hingar bingar kegiatan politik dan urusan perut. Selama bulan Mei tiada terlihat sehelai spanduk mengundang perhatian kepada buku serta gugahan untuk membaca. Untuk masyarakat perbukuan masih merasa sedikit terhibur dengan diselenggarakannya Pameran Buku Indonesia yang diselenggarakan IKAPI di Istora Senayan Jakarta tanggal 12-20 September 1998. Akan tetapi, pameran itu nyaris luput dari pemberitaan, apalagi tidak ada Menteri yang hadir membuka atau menutupnya. Sejumlah ruangan pameran yang kosong sampai pameran usai memberikan kesan kurangnya minat peserta.
   Pentingnya membaca sebagai kegiatan untuk memperoleh informasi dari media cetak tidak perlu diperbantahkan lagi. Informasi yang diperoleh melalui membaca memberikan berbagai manfaat sebagai hiburan, pengetahuan, keterampilan. Petualangan atau pengalaman intelektual. Oleh karena itu, berbagai ungkapan dijadikan moto atau slogan, seperti Tiada Hari Tanpa Membaca, Membaca Membuka Cakrawala, Bacalah Maka Anda akan Tetap Awet Muda, dan lain sebagainya. Kemampuan membaca juga dianggap sebagai kunci pembuka belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Berbagai upaya dilakukan untuk membebaskan masyarakat dari buta menjadi melek huruf, mampu, serta terampil membaca.
   Begitu besarnya keinginan untuk memberikan kemampuan membaca kepada anak sedini mungkin. Di kelompok bermain (play group) atau di taman kanak-kanak (TK) secara sengaja kegiatan membaca mulai diperkenalkan dalam bentuk yang paling sederhana, bermain dengan huruf atau mengenal huruf, itulah nama kegiatan yang diberikan. Tidak jelas apakah mengganti istilah belajar membaca dengan berbagai kata lain itu merupakan perusakan pendidikan (eufemusme). Orang tua bangga, guru senang, anak pun riang manakala si kecil mulai dapat membaca. Tidak peduli sejauh mana memaksakan belajar membaca pada usia sedini itu memberikan pengaruh positif atau negative terhadap perkembangan intelektual anak.
Image93.JPGImage92.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar