Perang tanding dalam masyarakat Manggarai merupakan budaya yang tidak perlu dilestarikan serta generasi muda penerus budaya Manggarai perlu mengubah pola pikir dari budaya perang tanding menjadi budaya sanding. Perang tanding rumbu tanah (rebut tanah) merupakan cirri budaya yang kurang baik. Paki tau rumbu lingko membawa hilangnya nyawa, sengsara keluarga yang ditinggalkan, dereng tana le, lingot jilo musi. Untuk mencapai kesepahaman dalam sengketa rumbu lingko perlu seorang pemimpin daerah yang memahami fenomena adat Manggarai. Perlu memahami konsep woe nelu, widang tana ngger one weta, serta hak ulayat. Untuk itu perlu pemahaman dari semua orang pada setiap tingkat kepentingan masyarakat hakekat lingko adat dan bagaimana lingko adat itu berada pada tangan yang lain. Bisa saja diberi pada weta (saudari) sebagai pemberian warisan dari saudara laki-laki ke pada saudarinya. Namun oleh perkembangan keturunan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan pihak saudara laki-laki (keturunan) mengambil kembali tanah yang telah diserahkan kepada pihak weta sebagai pemberian yang sah pada saat itu.
Perang tanding rumbu lingko dalam masyarakat Manggarai tidak boleh dilakukan tetapi dengan cara damai menyelesaikan sengketa rumbu lingko antara kampung atau antara woe nelu. Gengsi sebagai akar dari budaya perang tanding. Bagi orang Manggarai, gengsi perlu dipertahankan sekalipun taruhannya nyawa. Akibat mempertahankan gengsi, muncul semboyan “Dereng tana le,lingot kilo musi”. Perang tanding akibat sengketa lingko mampu diselesaikan oleh Drs. Antony Bagul Dagur sebanyak 152 perkara tanah di Manggarai. Pendekatan budaya Manggarai justru membuahkan hasil yang signifikan dalam persengketaan tanah di Manggarai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar