Pada dasarnya, logika merupakan ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip dan metode penalaran. Sedangkan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir untuk menghasilkan kesimpulan (natijah) berdasarkan keterangan yang telah diketahui. Penalaran biasanya terdiri dari proposisi-proposisi, dan proposisi-proposisi terdiri dari term-term, yang juga merupakan pembahasan logika secara garis besar.
Logika merupakan ilmu yang mula-mula dikembangkan oleh filsuf Yunani Kuno. Seorang filsuf Yunani Kuno yang dikenal sebagai "pelopor" timbulnya logika, tidak lain adalah Irsathotholees alias ARISTOTELES (384-322 S.M.) seorang murid PLATO (427-347 S.M.). Buah pikirannya dalam bidang logika ini, dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul Organon .
Filsuf Yunani lainnya yang juga berjasa dalam sejarah perkembangan logika, adalah Porphire Sophiste atau PORPHYRY (234-305 S.M.). Porphyry inilah yang mengarang sebuah kitab manthiq yang berjudul Isagoge, atau yang lebih dikenal Al-'Isa Ghuzi (Isa Ghozi).
Alkisah..., menurut beberapa cerita yang terdapat dalam Khazanah Humor Ilmiah, seorang peneliti ingin menemukan "apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu mabuk". Untuk itu, dia mengadakan penelitian dan penyelidikan dengan cara mencampur beberapa macam jenis minuman keras.
Mula-mula, dia mencampur air putih biasa dengan wiski luar negeri, yang setelah dengan habis diteguknya maka dia pun terkapar "mabuk tak berdaya". Setelah siuman, dia kembali mencampur air putih biasa dengan TKW (kalau tidak salah, TKW ini termasuk wiski lokal yang biasanya diminum di pinggir jalan sambil menghisap sigaret kretek), ternyata campuran ini pun menyebabkan dia mabuk lagi. Kemudian, akhirnya dia mencampur kembali air putih biasa dengan tuak, yang juga seperti campuran-campuran terdahulu, ini pun menyebabkan dia mabuk "tak berdaya" laksana alif tak berharokat.
Berdasarkan penelitiannya itu, akhirnya dia menyimpulkan bahwa air lah yang menyebabkan dia mabuk. Cukup masuk akal, bukan ? Namun apakah hal itu benar ?
Penalaran, merupakan suatu proses berpikir yang bisa membuahkan pengetahuan. Nah, agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikirnya juga harus dilakukan dengan cara tertentu. Suatu kesimpulan (natijah) baru bisa dianggap shahih (valid) apabila proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan semacam ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai "pengkajian untuk berpikir secara shahih (valid)".
Sebenarnya ada bermacam-macam cara dalam penarikan kesimpulan (natijah), namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri pada penalaran ilmiah, maka kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya pada 2 jenis cara penarikan kesimpulan (natijah), yakni Logika Deduktif (Επαγωγικές) dan Logika Induktif (επαγωγικός).
Logika Induktif (επαγωγικός) cukup erat kaitannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan di lain sisi, kita mempunyai Logika Deduktif (Επαγωγικές), yang dapat membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umun menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
Induksi (επαγωγή)
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan (natijah) yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif, biasanya dimulai dengan cara mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai "ruang lingkup yang khas", dan terbatas dalam menyusun argumentasi-argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.
Katakanlah, misalnya kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, kerbau mempunyai mata, demikian juga dengan singa, kucing, sapi, dan berbagai hewan lainnya. Dari fakta-fakta ini, kita bisa menarik kesimpulan (natijah) yang bersifat umum. yakni semua hewan mempunyai mata (mutlak).
Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya, sebab mempunyai 2 keuntungan, yakni :
1. Bersifat Ekonomis
Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam, dengan berbagai macam corak dan segi, dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia, bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta, melainkan sekedar esensi dari fakta-fakta tersebut.
Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan "tidak" bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, tetapi lebih menekankan kepada "struktur dasar" yang menyangga wujud fakta tersebut.
Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya, tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya segelas/secangkir kopi, atau betapa pahitnya empedu. Pengetahuan, sudah cukup puas dengan pernyataan dasar yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan empedu itu pahit. Pernyataan semacam ini, sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoretis.
2. Memungkinkan Proses Penalaran
Keuntungan kedua dari pernyataan yang bersifat umum ini adalah dimungkinkannya "proses penalaran" selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara induktif, maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat "lebih umum" lagi.
Penalaran seperti ini, memungkinkan tersusunnya pengetahuan secara sistematis, yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang "makin lama makin bersifat fundamental".
Deduksi (αφαίρεση)
Penalaran deduktif, adalah proses kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi juga merupakan suatu cara berpikir, dimana dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum itu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam penarikan kesimpulan secara deduktif, biasanya menggunakan pola berpikir (mindset) yang disebut silogismus (συλλογισμός).
Silogismus biasanya terdiri dari 2 buah pernyataan (premis) dan 1 kesimpulan (natijah). Atau dengan kata lain, silogismus harus tersusun atas 2 premis (muqoddimah) dan 1 kesimpulan (natijah).
Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis, yang kemudian bisa dibedakan menjadi Premis Mayor (Muqoddimah Kubro) dan Premis Minor (Muqoddimah Shugro). Sedangkan Kesimpulan (Natijah) merupakan hasil pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan benar atau tidaknya kedua premis tersebut.
Berdasarkan kriteria tersebut, kita dapat membuat silogisme seperti ini, misalnya :
Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati (premis mayor/muqoddimah kubro).
Manusia adalah makhluk yang bernyawa (premis minor/muqoddimah shugro).
Manusia pasti akan mati (kesimpulan/natijah).
Nah, kesimpulan (natijah) yang diambil bahwa "manusia pasti akan mati", adalah sah menurut penalaran deduktif. Mengapa demikian ? Karena kesimpulan ini ditarik (diambil) secara logis dari 2 premis yang mendukungnya itu, yakni "setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati" sebagai premis mayor (muqoddimah kubro) dan "manusia adalah makhluk yang bernyawa" sebagai premis minor (muqoddimah shugro).
Mengenai pernyataan "apakah kesimpulan (natijah) yang ditarik itu benar atau tidaknya", maka hal ini harus harus kita kembalikan kepada kebenaran (benar atau tidaknya) kedua premis yang mendahuluinya. Sekiranya jika kedua premis yang mendukungnya adalah benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan (natijah) yang ditariknya juga benar. Akan tetapi, mungkin saja bahwa kesimpulan (natijah) nya itu adalah salah, kalau cara penarikan kesimpulannya itu adalah salah/tidak sah/tidak valid.
Intinya, benar atau tidaknya suatu kesimpulan (natijah), semua itu "sangat tergantung" kepada benar atau tidaknya premis mayor (muqoddimah kubro) dan premis minor (muqoddimah shugro).
Dengan demikian, maka ketetapan dan kebenaran dalam menarik kesimpulan (natijah) tergantung dari 3 hal, yakni :
1. Kebenaran Premis Mayor (Muqoddimah Kubro).
2. Kebenaran Premis Minor (Muqoddimah Shugro).
3. Keabsahan Penarikan Kesimpulan (Natijah).
Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut ada yang persyaratannya tidak terpenuhi, maka kesimpulan (natijah) yang ditariknya juga akan salah/tidak sah.
Matematika (μαθηματικά) juga sebenarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi matematik, misalnya, A sama dengan B, dan jika B sama dengan C, maka A sama dengan C. Ini juga termasuk penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa A sama dengan C, sebenarnya "bukan" merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, tetapi hanya sekedar "konsekuensi" dari 2 pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa A sama dengan B, dan B sama dengan C.
Seperti halnya LUDWIG VON WITTGENSTEIN dalam bukunya, Tractatus Logico Philosophicus mengatakan : "Tak pernah ada kejutan dalam logika, sebab pengetahuan yang diperoleh adalah kebenaran tautologis....". Namun, benarkah ulangan matematika tak pernah menimbulkan surprise....??? Seperti pernyataan Taufiq Ismail dalam Sadjak Ladang Djagung : "Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tetapi segi empat...?".
Logika merupakan ilmu yang mula-mula dikembangkan oleh filsuf Yunani Kuno. Seorang filsuf Yunani Kuno yang dikenal sebagai "pelopor" timbulnya logika, tidak lain adalah Irsathotholees alias ARISTOTELES (384-322 S.M.) seorang murid PLATO (427-347 S.M.). Buah pikirannya dalam bidang logika ini, dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul Organon .
Filsuf Yunani lainnya yang juga berjasa dalam sejarah perkembangan logika, adalah Porphire Sophiste atau PORPHYRY (234-305 S.M.). Porphyry inilah yang mengarang sebuah kitab manthiq yang berjudul Isagoge, atau yang lebih dikenal Al-'Isa Ghuzi (Isa Ghozi).
Alkisah..., menurut beberapa cerita yang terdapat dalam Khazanah Humor Ilmiah, seorang peneliti ingin menemukan "apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu mabuk". Untuk itu, dia mengadakan penelitian dan penyelidikan dengan cara mencampur beberapa macam jenis minuman keras.
Mula-mula, dia mencampur air putih biasa dengan wiski luar negeri, yang setelah dengan habis diteguknya maka dia pun terkapar "mabuk tak berdaya". Setelah siuman, dia kembali mencampur air putih biasa dengan TKW (kalau tidak salah, TKW ini termasuk wiski lokal yang biasanya diminum di pinggir jalan sambil menghisap sigaret kretek), ternyata campuran ini pun menyebabkan dia mabuk lagi. Kemudian, akhirnya dia mencampur kembali air putih biasa dengan tuak, yang juga seperti campuran-campuran terdahulu, ini pun menyebabkan dia mabuk "tak berdaya" laksana alif tak berharokat.
Berdasarkan penelitiannya itu, akhirnya dia menyimpulkan bahwa air lah yang menyebabkan dia mabuk. Cukup masuk akal, bukan ? Namun apakah hal itu benar ?
Penalaran, merupakan suatu proses berpikir yang bisa membuahkan pengetahuan. Nah, agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikirnya juga harus dilakukan dengan cara tertentu. Suatu kesimpulan (natijah) baru bisa dianggap shahih (valid) apabila proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan semacam ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai "pengkajian untuk berpikir secara shahih (valid)".
Sebenarnya ada bermacam-macam cara dalam penarikan kesimpulan (natijah), namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri pada penalaran ilmiah, maka kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya pada 2 jenis cara penarikan kesimpulan (natijah), yakni Logika Deduktif (Επαγωγικές) dan Logika Induktif (επαγωγικός).
Logika Induktif (επαγωγικός) cukup erat kaitannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan di lain sisi, kita mempunyai Logika Deduktif (Επαγωγικές), yang dapat membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umun menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
Induksi (επαγωγή)
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan (natijah) yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif, biasanya dimulai dengan cara mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai "ruang lingkup yang khas", dan terbatas dalam menyusun argumentasi-argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.
Katakanlah, misalnya kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, kerbau mempunyai mata, demikian juga dengan singa, kucing, sapi, dan berbagai hewan lainnya. Dari fakta-fakta ini, kita bisa menarik kesimpulan (natijah) yang bersifat umum. yakni semua hewan mempunyai mata (mutlak).
Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya, sebab mempunyai 2 keuntungan, yakni :
1. Bersifat Ekonomis
Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam, dengan berbagai macam corak dan segi, dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia, bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta, melainkan sekedar esensi dari fakta-fakta tersebut.
Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan "tidak" bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, tetapi lebih menekankan kepada "struktur dasar" yang menyangga wujud fakta tersebut.
Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya, tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya segelas/secangkir kopi, atau betapa pahitnya empedu. Pengetahuan, sudah cukup puas dengan pernyataan dasar yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan empedu itu pahit. Pernyataan semacam ini, sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoretis.
2. Memungkinkan Proses Penalaran
Keuntungan kedua dari pernyataan yang bersifat umum ini adalah dimungkinkannya "proses penalaran" selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara induktif, maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat "lebih umum" lagi.
Penalaran seperti ini, memungkinkan tersusunnya pengetahuan secara sistematis, yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang "makin lama makin bersifat fundamental".
Deduksi (αφαίρεση)
Penalaran deduktif, adalah proses kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi juga merupakan suatu cara berpikir, dimana dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum itu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam penarikan kesimpulan secara deduktif, biasanya menggunakan pola berpikir (mindset) yang disebut silogismus (συλλογισμός).
Silogismus biasanya terdiri dari 2 buah pernyataan (premis) dan 1 kesimpulan (natijah). Atau dengan kata lain, silogismus harus tersusun atas 2 premis (muqoddimah) dan 1 kesimpulan (natijah).
Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis, yang kemudian bisa dibedakan menjadi Premis Mayor (Muqoddimah Kubro) dan Premis Minor (Muqoddimah Shugro). Sedangkan Kesimpulan (Natijah) merupakan hasil pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan benar atau tidaknya kedua premis tersebut.
Berdasarkan kriteria tersebut, kita dapat membuat silogisme seperti ini, misalnya :
Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati (premis mayor/muqoddimah kubro).
Manusia adalah makhluk yang bernyawa (premis minor/muqoddimah shugro).
Manusia pasti akan mati (kesimpulan/natijah).
Nah, kesimpulan (natijah) yang diambil bahwa "manusia pasti akan mati", adalah sah menurut penalaran deduktif. Mengapa demikian ? Karena kesimpulan ini ditarik (diambil) secara logis dari 2 premis yang mendukungnya itu, yakni "setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati" sebagai premis mayor (muqoddimah kubro) dan "manusia adalah makhluk yang bernyawa" sebagai premis minor (muqoddimah shugro).
Mengenai pernyataan "apakah kesimpulan (natijah) yang ditarik itu benar atau tidaknya", maka hal ini harus harus kita kembalikan kepada kebenaran (benar atau tidaknya) kedua premis yang mendahuluinya. Sekiranya jika kedua premis yang mendukungnya adalah benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan (natijah) yang ditariknya juga benar. Akan tetapi, mungkin saja bahwa kesimpulan (natijah) nya itu adalah salah, kalau cara penarikan kesimpulannya itu adalah salah/tidak sah/tidak valid.
Intinya, benar atau tidaknya suatu kesimpulan (natijah), semua itu "sangat tergantung" kepada benar atau tidaknya premis mayor (muqoddimah kubro) dan premis minor (muqoddimah shugro).
Dengan demikian, maka ketetapan dan kebenaran dalam menarik kesimpulan (natijah) tergantung dari 3 hal, yakni :
1. Kebenaran Premis Mayor (Muqoddimah Kubro).
2. Kebenaran Premis Minor (Muqoddimah Shugro).
3. Keabsahan Penarikan Kesimpulan (Natijah).
Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut ada yang persyaratannya tidak terpenuhi, maka kesimpulan (natijah) yang ditariknya juga akan salah/tidak sah.
Matematika (μαθηματικά) juga sebenarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi matematik, misalnya, A sama dengan B, dan jika B sama dengan C, maka A sama dengan C. Ini juga termasuk penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa A sama dengan C, sebenarnya "bukan" merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, tetapi hanya sekedar "konsekuensi" dari 2 pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa A sama dengan B, dan B sama dengan C.
Seperti halnya LUDWIG VON WITTGENSTEIN dalam bukunya, Tractatus Logico Philosophicus mengatakan : "Tak pernah ada kejutan dalam logika, sebab pengetahuan yang diperoleh adalah kebenaran tautologis....". Namun, benarkah ulangan matematika tak pernah menimbulkan surprise....??? Seperti pernyataan Taufiq Ismail dalam Sadjak Ladang Djagung : "Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tetapi segi empat...?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar