Selasa, 27 September 2011

HAK MEREKA YANG TERAMPAS


Oleh: Frederikus Prima Dikiman
   Seringkali kita melihat, entah itu di layar televise, Koran, atau melihat langsung, para pemulung, pengemis, bahkan anak-anak yang putus sekolah. Mereka adalah anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita yang masih bisa sekolah. Mereka harus putus sekolah atau bahkan tidak pernah bersekolah karena terhimpit masalah ekonomi. Tunggang langgang kesana dan kemari hanya untuk mendapat sesuap nasi. Itu pun kadang mereka tidak makan 3 kali sehari.

   Dari masalah di atas, muncul sebuah pertanyaan. Apakah terlantarnya mereka, penyebabnya adalah kesalahan pada pemerintah? Jawabannya, bisa tidak dan bisa iya. Tidak, karena bisa saja pemerintah telah memberikan bantuan, tetapi salah digunakan oleh mereka yang menerimanya. Uang yang seharusnya digunakan untuk membuka usaha, malah digunakan untuk bermain judi. Begitu uangnya habis, minta lagi pada pemerintah. Kalau tidak dikasih, pemerintah yang disalahkan. Ya, apabila uang yang seharusnya disumbangkan kepada masyarakat, dikorupsi oleh oknum tertentu. Misalnya saja dana pendidikan yang bernilai 20% dari APBN, hanya beberapa persen saja yang terealisasi dengan baik. sisanya, mengalir ke beberapa Kementrian dan saku para pejabat.
   Dengan demikian, masyarakat yang ingin bersekolah tidak dapat melanjutkan sekolahnya atau tidak dapat bersekolah karena tidak ada biaya. Kalau saja uang tersebut tidak dikorupsi, maka masyarakat yang ingin bersekolah dapat melanjutkan sekolahnya.
   Bukan hanya itu saja, masyarakat yang ingin sehat justru direbut haknya untuk mendapatkan layanan kesehatan. Ongkos pemeriksaan yang cukup mahal mengurungkan niat masyarakat yang kurang mampu untuk memeriksa. Andai saja uang yang dikorupsi itu sebagiannya dialokasikan untuk layanan kesehatan, maka tidak akan ada lagi masyarakat yang sakit-sakitan.
   Jadi, tinggal kesadaran pemerintah, mau melakukannya atau tidak. Janganlah pemerintah mau berharap masyarakat kita cerdas dan sehat kalau pemerintah sendiri tidak mau melakukan kewajibannya. Masyarakat sudah capek untuk berdemo. Toh, jawabannya hanya satu, tenang tunggu kebijakan dari atas. Tunggu punya tunggu, realisasinya tidak dilakukan. Jadi, tunggu saja sampai kita melarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar