Senin, 12 Desember 2011

Pendidikan Kesenian di Sekolah



   Pendidikan kesenian di sekolah, hingga kini, masih belum mendapatkan perhatian serius. Kementrian Pendidikan Nasional yang membidangi, juga kurang memberikan perhatian serius. Sekolah-sekolah yang masih menunggu petunjuk dari Kemendiknas menempatkan kesenian bukan sebagai hal mendesak. Akibatnya, pendidikan kesenian di sekolah hanya berjalan ada kadarnya.
   Di sisi lain, pihak sekolah kadang-kadang masih memandang kesenian dengan sebelah mata dibandingkan dengan bidang lain, seperti olahraga. Banyak sekolah menganggap dirinya mampu mencetak atlet yang hebat. Sekolah-sekolah tersebut lebih bersemangat memajukan bidang olahraga. Kebijakan pengembangan potensi olahraga bagi siswa-siswa di sekolah pun anggarannya tidak sebanding dengan pengembangan kesenian. Contoh nyata, pembangunan sarana olahraga jauh mengalahkan ketersediaan sarana berekspresi kesenian, bahkan juga mengalahkan kepentingan yang paling mendasar seperti perpustakaan.

Tiada Ruang
   Sekolah membangun aula megah dan mahal. Ruang kesenian tanpa bentuk berada di situ. Sesungguhnya, dalam buku petunjuk teknis mata pelajaran kesenian, tertera kata “laboratorium” sebagai ruang praktek kesenian di sekolah. Akan tetapi, tak ada satu pun ruang khusus untuk kegiatan kesenian, seperti menari, melukis, main drama, baca puisi, sampai main music. Ruang praktek untuk main music, main drama, baca puisi, atau menari harus berupa ruang kedap suara. Dengan demikian, tidak menggangu lingkungan jika praktek dilakukan.
   Tuntutan membangun ruang kedap suara pasti dianggap berlebihan, mewah, dan hanya untuk di sekolah khusus kesenian. Bahkan, sekolah bisa dituduh terlalu jauh dan menyeret anak-anak untuk jadi seniman. Hal yang lebih parah lagi kata-kata “menyenimankan siswa”. Kata-kata itu cenderung dianggap provokasi buruk karena melahirkan anak-anak yang liar, brutal, mengancam tata tertib, serta memberi pekerjaan tambahan kepada guru untuk menjaga rambu-rambu sekolah.

Ruang Ekspresi
   Ada dua hal dalam kegiatan pengajaran di sekolah, yakni intrakulikuler dan ekstrakulikuler. Kegiatan ekskul menjadi wilayah pengembangan potensi lebih luas, dan didesain dengan cara lebih bebas dalam waktu dan ruang. Waktu dan ruang bebas berekspresi, dapat mewadahi karakteristik remaja yang menyukai hal-hal baru. Jika tersedia sarana memadai, tak hanya potensi kesenian yang tersalurkan, tetapi juga sebagai ruang meredam kebrutalan perilaku di jalanan sehingga menjadi masalah sosial. Di sini, diperlukan sebuah jawaban seorang ahli, apakah ruang kebebasan berekspresi dalam kaitannya dengan nilai estetis dapat meredam isu kenakalan remaja dalam bentuk kebrutalan perilaku?
   Fungsi “ruang kedap suara” yang dibangun dengan dana besar sekalipun, jika berfungsi penting, seharusnya didukung pembangunannya karena memiliki aspek sosial tinggi. Peranan kesenian di sekolah, salah satunya ditemui di sini pula. Ada kemungkinan, kenakalan remaja menjadi masalah sosial karena ketidakmampuan sekolah menyediakan ruang bebas untuk berekspresi.
   Kesenian merupakan salah satu bidang yang seharusnya dapat menanggulangi masalah ini, selain olahraga dan prestasi. Kini, sudah saatnya sekolah memiliki pandangan lebih luas terhadap kegiatan kesenian di sekolah. Sekolah juga seharusnya mempertimbangkan minat, bakat, serta hobi siswa yang sangat bervariasi. Hobi adalah kompetensi yang  memerlukan pengembangan. Hobi berhubungan dengan profesi di kemudian hari. Sekolah harus mempertimbangkan hal ini.

Nilai Lokal
   Ada banyak hal yang dapat menjerat sekolah sehingga bisa dianggap sebagai lembaga yang kurang adil dalam mengembangkan kompetensi siswanya. Hal tersebut misalnya, ketika sekolah cenderung memandang satu aspek lebih dominan daripada aspek lain, termasuk pengembangan kesenian. Jika kesenian di sekolah telah dipinggirkan, itu merupakan sebuah sikap yang berlawanan dengan pengembangan nilai local. Anehnya, betapa bangganya sekolah-sekolah yang menganggap dirinya telah bertanggung jawab terhadap pengembangan nilai local. Padahal, sikapnya kurang memiliki komitmen dalam pengembangan nilai local, yaitu kesenian daerah.
   Beberapa sekolah telah memberi wadah untuk mengembangkan muatan local, seperti mengadakan lomba mengarang, melukis, keterampilan local, menyanyi, dan lain-lain. Akan tetapi, ruang praktek kesenian untuk menampung sejumlah 50 siswa agaknya masih sebuah mimpi.
   Tidak tersedianya ruang praktek kesenian di sekolah, hanyalah salah satu bagian dari beberapa persoalan lain yang menjadi hambatan pengembangan potensi kesenian. Persoalan lainnya adalah pengembangan, SDM. Guru kesenian kesulitan memposisikan diri dalam perkembangan kesenian. Tentu saja, komitmen sebuah sekolah untuk bertanggung jawab terhadap pengembangan potensi kesenian siswa, sangat penting dan berpengaruh sangat luas.

1 komentar:

  1. Terimakasih artikelnya sangat bermanfaat sekali.
    Jangan lupa untuk mengunjungi website kami di http://www.agungdrumband.com/

    BalasHapus