Jumat, 18 Maret 2011

BIODATA CHAIRIL ANWAR


   Chairil Anwar lahir di Medan (Sumatera Utara) pada tanggal 26 Juli 1922. Ia merupakan satu-satunya anak dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya berasal dari Kenegerian Taeh, Sumatra Barat yang bekerja sebagai pamong praja di Sumatra Utara pada zaman revolusi kemerdekaan, beliau diangkat menjadi Bupati Indragiri, Karesidenan Riau, sedangkan ibunya, berasal dari Kota Gadang (Sumatra Utara) yang masih memiliki pertalian keluarga dengan ayah Sutan Syahrir.
   Masa kanak-kanaknya hingga remaja dihabiskan di kota kelahirannya, Medan dengan bersekolah Belanda, HIS (Hollands Inlandsche School, setingkat SD). Disana, Chairil kecil sudah menampakkan diri sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis. Kemudian dia melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs) setingkat SMP. Ketika di kelas dua, dalam usia 19 tahun, Chairil hijrah ke Jakarta mengikuti ibunya, sebagai protes terhadap ayahnya yang menikah lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena kesulitan ekonomi pada masa kolonial Jepang di tahun 1942, akhirnya Chairil Anwar putus sekolah.
   Dimasa putus sekolah itu, Chairil di Jakarta mengisi waktunya dengan membaca sebanyak-banyaknya karya sastra yang ada didepannya: Indonesia, Belanda, Jepang, Inggris, Amerika, dan berbagai terjemahan sastra dunia. Sebagai pelajar MULO, Chairil otomatis menguasai tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif. Bahasa daerah yang dia kuasai adalah bahasa Minang. Pengusaannya terhadap ketiga bahasa asing itulah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan dunia sebagai refrensi yang berhasil disadur dan diterjemahkan. Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi atau cerpen Andre Gide, John Steinbeck, Raine Maria Rilke, Ernest Hamingway, W.H.Auden, Conrad Aiken, John Conford, Hsu Chih Mo, Archibald Macleish, Willem Elsschact, H.Marsam, dan lain-lain telah menyudutkan Chairil pada klaim kritikus sastra sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu.
   Chairil makin memperlihatkan kematangannya sebagai penyair yang menyerahkan hampir seluruh perjalanan kehidupannya dengan penuh kesetiaan untuk sastra. Diantara kredo penciptaan puisinya yang sangat menarik adalah “puisiku tiap kata akan kugali-korek sedalamnya hingga ke kernwoord, ke kernbeeld”. Dalam pidato radio, tahun 1946, penyair ini menegaskan kembali pendapatnya bahwa sebuah sajak (puisi) yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan oleh penyair.
   Tiga kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir (1950). Kumpulan puisi bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin merupakan sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun hidup dan memompakan antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi yang telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dibidang kajian penelitian sastra. Chairil juga menjadi bagian tersendiri dalam kejadian atau penelitian mengenai sastra yang ditulis sastrawan Indonesia. Terjemahan puisinya kedalam bahasa Inggris adalah Selected Poems of Chairil Anwar (1970) oleh Burton Raffel, The Complete Poems of Chairil Anwar (1974) oleh Liauw Yock Fang, dan dalam bahasa Jerman, Fever Und Asche oleh Walter Karwath.
   Nama Chairil mulai dikenal dilingkungan seniman dan budayawan Jakarta ketika ia berusia 21 tahun (1943). Pada masa itu, ia sering datang ke kantor redaksi majalah Panji Poetaka mengantarkan puisi-puisinya. Pergaulan dengan para sastrawan dan budayawan senior semakin luas ketika ia kerap muncul di Keimin Bunka Shidoso, pusat kebudayaan yang dibuat tentara pendudukan Jepang.
   Chairil sempat bekerja di redaksi majalah Gema Suasana (1948). Ia hanya bertahan selama tiga bulan disana kemudian keluar dan bekerja di mingguan berita Siasat. Disana, ia menjadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Dia salah satu pemikir yang memberikan kontribusi pada lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang.
   Untuk menghormati kepenyairan Chairil Anwar, Dewan Kesenian Jakarta, memberikan Anugerah Sastra Chairil Anwar, pertama kepada Mochtar Lubis ditahun 1992 dan kedua, Sutardji Calzoum Bachri di tahun 1998. Chairil Anwar menikah dengan Hapsah Wiradiredja, 6 September 1946. Putri mereka satu-satunya adalah Evawani Alissa, lahir 17 Juni 1947. Eva tamat Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia bekerja sebagai notaris di Jakarta. Eva dikaruniai tiga anak.
   Chairil Anwar cukup lama mengidap penyakit paru-paru dan meninggal dunia pada usia 26 tahun 9 bulan. Warisan karyanya tidak terbilang besar, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 pusis terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Namun, dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh tenaga.
   Seperti memenuhi makna yang protektif dalam bait puisinya: Di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin, penyair utama ini meninggal pada tanggal 28 April 1949 dan dikebumikan di pemakaman Karet pada hari berikutnya.                                                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar