Selasa, 05 Juli 2011

Budaya Lima Lampek


   Lampek dipakai oleh orangtua di zaman lampau (orang Manggarai) sebagai alat potong. Fungsi utama Lampek ialah alat poro putes (potong tali pusat). Ketika seorang manusia lahir ke dunia, pengalaman yang pertama kali ialah poro putes. Poro putes (potong tali pusat) seorang bayi ini dijadikan sebuah ritual adat Manggarai yang berjalan turun temurun sejak nenek moyang. Lampek sebagai alat potong dianggap dan diyakini sebagai alat yang membahayakan sebuah kehidupan orang Manggarai, maka pada gilirannya nama Lampek dipakai sebagai sebuah nama Budaya Manggarai. Lampek diyakini sebagai alat potong, sehingga keseluruhan proses perjalanan hidup sekelompok manusia di zaman itu tunduk dan taat dibawah budaya Lampek. Kemudian, orang Manggarai memandang bahwa seseorang mengalami lima tahap kehidupan selama di dunia ini. Manusia hidup dalam berbagai tahap kehidupan dengan ruang dan waktu yang mempunyai maknanya sendiri. Mulai dari manusia lahir sampai seorang manusia mati mengikuti lima tahap. Tahap pertama yang dialami sebagai sebuah proses hidup ialah mbaru bate kaeng. Kemudian setahap lebih tinggi manusia memasuki sebuah tahap baru dimana manusia akan bermain-main dengan kelompoknya dalam sebuah area tertentu yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tahap itu dikenal sebagai natas bate labar. Natas bate labar dipakai sebagai tahap yang menyenangkan karena semua manusia diusia kecil bermain bersama secara kelompok di natas. Mereka labar agu hae koe. Namun dinatas bate labar ini, diyakini ada pelindungnya. Kemudian orang Manggarai mendirikan Compang. Diyakini bahwa Compang merupakan tempat tinggalnya leluhur yang melindungi anak-anak dari segala mara bahaya saat mereka bermain.
   Tahap ketiga yang dilewati oleh seorang manusia ialah mengenal wae teku. Wae teku merupakan sebuah sumber mata air tempat menimba air minum. Orangtua dizaman dahulu, memelihara mata air atau wae teku dengan melarang tidak boleh menebang pohon dan segala tumbuhan yang hidup dan tumbuh disekitar mata air. Disekitar mata air, didirikan compang tempat leluhur tinggal dan menjaga setiap orang yang datang menimba air.
   Tahap keempat yang dialami seorang manusia dalam seluruh prosesi kehidupannya ialah dia mengenal uma duat. Uma duat diyakini sebagai tempat member makanan dan rejeki kepada seseorang atau keluarga. Uma duat menurut orang Manggarai pada mulanya disebut uma randang. Uma randang diatur menurut ritus adat orang Manggarai. Sampai saat ini masih ada lingko randang atau uma randang.
   Tahap yang terakhir dari proses hidup orang Manggarai yakni BOA. Boa sebagai tempat terakhir dimana seorang manusia tinggal.
   Dari penjelasan diatas, menunjukkan bahwa lima tahap prosesi hidup seorang manusia sejak lahir hingga mati sehingga tahapan ini kemudian disebut sebagai lima lampek. Dalam perjalanannya, terdapat sumpah lampek telu, lampet pat, dan seterusnya. Sumpah yang diberikan kepada seseorang yang melanggar adat atau meyakini orangtua oleh karena ulah anak-anaknya justru akan nampak pada saat kritis. Saat kritis ini dimaksudkan karena pelanggaran seseorang ada batasnya. Pelanggaran tahap pertama, diampuni. Pelanggaran tahap kedua, diberi teguran berupa denda dan akhirnya orangtua mengampuni kesalahan anaknya. Pelanggaran ketiga, berarti seseorang telah melanggar lampek telu atau tiga tingkat kesalahan. Pada tahap ini seorang pelanggar diberi tanda khusus dalam ritus adat. Tujuannya supaya jangan sampai melanggar yang keempat kalinya pada hal yang sama. Apabila seseorang melanggar lagi, maka lahirlah sumpah adat. E…. anak. Lampek pat de hau ite e. kalau suda ada pernyataan tersebut berarti akibatnya ialah ketek manuk miteng (potong ayam hitam). Akibat dari pernyataan sumpah ini, manusia yang melanggar adat itu pasti mati. Kematian merupakan sebuah fenomena yang menakutkan bagi semua orang sehingga pada umumnya kesaksian itu membuat orang Manggarai takut terhadap adat dan segala ritusnya. Perang tanding merupakan salah satu bentuk sumpah adat orang Manggarai yang masih nampak oleh generasi muda zaman ini. Kebenaran akan teruji disana.
Jadi, akar budaya orang Manggarai sebenarnya ialah Lima Lampek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar